ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN
IMPOR BERAS NASIONAL DI INDONESIA
SEMINAR PENULISAN IMLIAH
Diajukan guna melengkapi salah satu syarat untuk
mencapai gelar setara Sarjana Muda Jurusan Manajemen jenjang Strata Satu
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma
Nama : Benny Apriandy
NPM : 11209952
Jurusan : Manajemen
Pembimbing : Sri Murtiasih
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai
saat ini masih dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Jumlah
masyarakat yang mengkonsumsi beras ini menunjukkan ketergantungan masyakarat
pada beras. Hal ini menyebabkan persoalan beras selalu menjadi salah satu isu
penting di masyarakat.
Komoditas beras
bagi Bangsa Indonesia yang tergolong salah satu negara berpenduduk paling besar
di dunia dengan tingkat populasi pada tahun 2011 sebesar 241 juta jiwa dan menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2012 di atas 245 juta jiwa merupakan
komoditas dengan potensi yang teramat penting. Dari Penduduk yang sedemikian
besar tersebut hamper kesemuanya mengkonsumsi beras untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya. Di setiap pelosok tanah air terdapat keluarga petani padi yang
totalnya sekitar 20 juta kepala keluarga.
Hidup layak
dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, setiap warga negara berhak atas terpenuhinya pangan yang cukup
dengan harga murah (Amang dan Sawit, 1999). Sehubungan dengan hal tersebut,
maka menjadi tugas pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang akan menjamin
ketahanan pangan dan kebijakan swasembada beras merupakan kunci bagi pencapaian
ketahanan pangan/food security
(Kasryono dalam Mulyana, 1998).
Mengingat hal di
atas, mencapai swasembada beras selalu menjadi prioritas pemerintah dalam
kebijakan pembangunan pertaniannya. Kebijakan swasembada beras merupakan salah
satu kebijakan utama pembangunan pertanian dan dinilai telah meningkatkan
produksi beras dan pendapatan petani.
Konteks ketahanan pangan
tidak hanya menyangkut masalah ketersediaan bahan pangan pokok bagi rakyat
saja, tetapi meliputi pula bagaimana keemilikan dan akses terhadap pangan itu
oleh setiap anggota masyarakat (Pakpahan dan Pasandaran; Soetrisno dalam
Mulyana 1998).
Dalam hal masalah
pengalokasian beras Indonesia menghadapi dilema antara upaya
mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri dengan cara
peningkatan produktivitas dan impor beras,
dengan upaya menjaga kestabilan harga beras agar tetap terjangkau oleh semua pihak.
Dapat diketahui bahwa
pembangunan yang bersifat hegemoni pada masa yang lampau telah meninggalkan
banyak dampak negatif. Salah satu kebijakan yang telah menciptakan dampak
kompleks adalah hegemoni dalam bidang pangan, yaitu menyeragamkan jenis makanan
pokok rakyat dengan komoditi beras. Misi itu diimplementasikan saat produksi
padi Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Selain itu ada keyakinan
yang besar bahwa usaha tani padi masih mempunyai potensi untuk terus
dikembangkan. Berbagai teknologi mulai dari benih, pupuk, pestisida hingga
alsintan diteliti dan diintroduksikan ke pedesaan dengan tujuan agar petani
bisa menangani proses produksi secara intensif. Pembangunan yang mempunyai
ideologi identik dengan revolusi hijau diorientasikan pada tingkat pertumbuhan
dengan landasan efisiensi. Indikator utamanya adalah produktivitas.
Untuk itu penulis mencoba
untuk menganalisis dan mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
impor beras di Indonesia yaitu diantaranya adalah produksi padi, harga beras
impor terhadap permintaan beras impor di Indonesia.
Dari faktor yang ada, akan
dianalisa bagaimana pengaruh dan hubungan antara produksi dengan faktor yang
mempengaruhinya dengan menggunakan metode Analisis Regresi Linear Berganda.
Dari uraian diatas, penulis memilih judul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI IMPOR BERAS NASIONAL DI INDONESIA.”
1.2. Rumusan Masalah
Ketersediaan beras sangat penting bagi penduduk
Indonesia, karena beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Ada istilah
yang berkembang “Belum makan kalau belum makan nasi (beras)”, hal ini
membuktikan betapa pentingnya beras bagi penduduk Indonesia. Dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan terhadap beras.
Permasalahan timbul dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk Indonesia
yang tidak diikuti dengan peningkatan produksi beras di Indonesia. Pada Tabel 1
dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk Indonesia cenderung naik setiap
tahunnya, tetapi tidak pada produksi beras di Indonesia yang berfluktuasi. Dan
pada tahun 1984, 1990,1991, 1993, 1994, 1997, 1998, 2001, 2005, 2008, 2011
terjadi penurunan jumlah produksi beras dari tahun sebelumnya. Sedangkan peningkatan
permintaan terhadap beras harus diikuti dengan peningkatan penawaran
(ketersediaan) beras domestik, karena apabila produksi beras domestik tidak
mencukupi kebutuhan atau permintaan penduduk, maka akan dilakukan impor beras.
Tabel 1. Data Jumlah Penduduk dan Produksi Beras di Indonesia
Tahun 1980 sampai 2011
Tahun
|
Jumlah Penduduk Indonesia (000 000 jiwa)
|
Produksi Beras Indonesia (000 ton)
|
1980
|
147.05
|
20 574
|
1981
|
146.09
|
22 287
|
1982
|
146.53
|
23 191
|
1983
|
158.65
|
25 932
|
1984*
|
163.90
|
24 006
|
1985
|
164.07
|
26 542
|
1986
|
168.12
|
27 014
|
1987
|
172.09
|
27 253
|
1988
|
175.64
|
28 340
|
1989
|
177.36
|
29 072
|
1990
|
179.30
|
28 453
|
1991
|
181.38
|
28 187
|
1992
|
184.49
|
30 358
|
1993
|
187.60
|
30 320
|
1994
|
190.68
|
29 417
|
1995
|
193.75
|
31 349
|
1996
|
196.80
|
32 215
|
1997
|
199.84
|
31 093
|
1998
|
202.91
|
31 040
|
1999
|
202.83
|
32 031
|
2000
|
205.13
|
32 693
|
2001
|
207.93
|
31 806
|
2002
|
210.74
|
32 444
|
2003
|
213.55
|
32 861
|
2004
|
216.38
|
34 102
|
2005
|
219.21
|
34 028
|
2006
|
222.19
|
34 600
|
2007
|
223.90
|
36 970
|
2008*
|
225.31
|
38 078
|
2009
|
231.67
|
40 656
|
2010
|
237.60
|
42 436
|
2011
|
241.87
|
41 328
|
*) Swasembada beras
Sumber : BPS, 1980-2011
Pembangunan sektor pertanian
merupakan fokus dari kegiatan pembangunan nasional yang dilaksanakan sejak
Pelita I. Beberapa alasan kuat mengapa peningkatan produksi beras merupakan
titik berat pembangunan di sektor pertanian antara lain : (1) beras merupakan
makanan pokok dan sumber utama penyedia kalori, (2) sebagian besar penduduk
Indonesia mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian tanaman pangan, dan
(3) memiliki saham terbesar dalam indeks harga konsumen yang menjadi indikator
pengukur stabilitas ekonomi (Majalah Pangan, 1989).
Kebijakan harga gabah dan
beras merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan ketahanan pangan
nasional. Kebijakan harga gabah tidak efektif apabila tidak diikuti dengan
kebijakan perberasan lainnya. Kebijakan harga murah tidak dianjurkan, karena
bukti-bukti empiris menunjukan bahwa kebijakan ini telah menyengsarakan petani
padi dan tidak mampu mendorong sektor industri untuk bersaing di pasar dunia.
Kebijakan stabilitas harga beras di pasar domestik yang berorientasi pada
peningkatan pendapatan petani, merupakan paket kebijakan yang sangat diperlukan
oleh petani padi (Malian et. al., 2004).
Tabel 2. Data Harga Dasar Pembelian Pemerintah, Harga
Gabah Tingkat Petani dan Harga Beras Eceran di Indonesia Tahun 1980 sampai 2011
Tahun
|
HPP (Rp/Kg)
|
HGTP (Rp/Kg)
|
HBE (Rp/Kg)
|
1980
|
105
|
189.32
|
198.39
|
1981
|
120
|
212.16
|
226.19
|
1982
|
135
|
229.61
|
254.92
|
1983
|
145
|
274.69
|
304.24
|
1984
|
165
|
284.81
|
330.97
|
1985
|
175
|
288.59
|
322.07
|
1986
|
175
|
167.27
|
345.24
|
1987
|
190
|
184.73
|
386.86
|
1988
|
210
|
381.62
|
469.20
|
1989
|
250
|
475.48
|
469.56
|
1990
|
270
|
466.68
|
525.17
|
1991
|
295
|
517.47
|
557.84
|
1992
|
330
|
303.70
|
603.68
|
1993
|
340
|
284.05
|
592.25
|
1994
|
360
|
325.83
|
660.37
|
1995
|
400
|
419.81
|
776.38
|
1996
|
450
|
432.75
|
880.00
|
1997
|
525
|
498.27
|
1 064.03
|
1998
|
800
|
933.01
|
2 099.71
|
1999
|
1 400
|
1 159.43
|
2 665.58
|
2000
|
1 400
|
964.72
|
2 424.22
|
2001
|
1 500
|
1 141.22
|
2 537.09
|
2002
|
1 519
|
1 255.46
|
2 826.06
|
2003
|
1 725
|
1 249.33
|
2 785.85
|
2004
|
1 740
|
1 258.31
|
2 850.96
|
2005
|
2 250
|
1 567.67
|
3 478.87
|
2006
|
2 285
|
1 570.85
|
3 522.65
|
2007
|
2 310
|
1 572.62
|
3 476.96
|
2008
|
2 325
|
1 579.56
|
3 477.98
|
2009
|
2 340
|
1 583.52
|
3 481.46
|
2010
|
2 350
|
1 587.92
|
3 494.67
|
2011
|
2 360
|
1 588.98
|
3 510.23
|
Sumber: BPS, 1980-2011
Secara umum, salah satu
permasalahan permintaan beras di Indonesia adalah harga beras yang relatif
tinggi dan cenderung naik seiring dengan berkembangnya jaman (dapat dilihat
pada Tabel 2). Masalah kenaikan harga beras, secara ekonomi adalah masalah
penawaran dan permintaan, seperti yang dikemukakan oleh Hutauruk (1996) bahwa
luas areal panen responsive terhadap harga dasar padi dan harga padi pada
jangka panjang. Untuk menekan harga beras, pemerintah harus menjaga harga yang
berkolerasi langsung dengan ongkos produksi dan menjamin keuntungan petani. Hal
ini dapat diwujudkan apabila Bulog membeli gabah langsung dari petani (Saragih,
2006). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa besarnya harga gabah tingkat petani
masih lebih kecil nilainya dibandingkan dengan harga dasar pembelian pemerintah
sedangkan harga beras eceran cenderung naik.
Kebijakan insentif berupa
penetapan harga dasar yang dilanjutkan dengan harga dasar pembelian pemerintah
(HDPP) tidak akan terlaksana secara efektif, apabila pemerintah tidak
menetapkan kebijakan pendukung yang compatible dengan HDPP. Pengurangan
subsidi pupuk tahun 1998 tidak efektif, seperti yang dikemukakan oleh Malian et.
al. (2004) bahwa apabila dilakukan penghapusan subsidi pupuk maka kebijakan
harga dasar menjadi tidak efektif, kerena akan menurunkan pendapatan petani
produsen dan mutu intensifikasi yang diterapkan oleh petani padi.
Sementara itu krisis ekonomi
yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan harga beras melonjak
tajam dalam waktu singkat. Selama periode tersebut pemerintah telah banyak
mengubah kebijakan perberasan nasional baik pada tingkat usaha tani maupun
tingkat pasar. Dengan segala baik buruknya, bangunan kebijakan perberasan yang
dioperasionalkan selama hampir 20 tahun mampu menstabilkan pasokan
(ketersediaan) dan harga beras. Namun, sejak krisis ekonomi pada tahun 1997,
penopangnya runtuh satu per satu, sehingga tersisa hanyalah kebijakan harga
yang tidak lagi efektif.
Namun setelah terjadi krisis
ekonomi dan dibebaskannya impor beras masuk ke Indonesia dan ditambah lagi
dengan rendahnya harga beras di pasar dunia, kebijakan perlindungan terhadap
petani padi menjadi sulit dilakukan oleh pemerintah. Kondisi seperti ini yang
menjadi pembicaraan apakah kebijakan harga masih perlu dipertahankan atau
sebaliknya dihapuskan saja.
Kebijakan proteksi tidak
mungkin dilakukan secara terus menerus dalam jangka panjang karena tuntutan
globalisasi yang makin kuat. Oleh karena itu, upaya-upaya perbaikan efisiensi
perberasan nasional, baik aspek budidaya (perbaikan teknologi, irigasi dan lain-lain),
pascapanen (prontokan, pengeringan, penyimpanan), pengolahan (penggilingan)
maupun pemasaran hasil (perbaikan infrastruktur, informasi pasar, dan
lain-lain), perlu terus dijalankan untuk mempersiapkan agribisnis beras
nasional dalam menghadapi serbuan produk impor sejenis dari negara lain.
Pada
kebijakan pemerintah terhadap komoditas beras baik melalui tarif maupun
monopoli impor sebenarnya berhadapan dengan dua poros utama tekanan publik yang membawa dilema tersendiri. Disatu
sisi, terdapat tekanan yang demikian besar untuk meningkatkan harga beras
tingkat petani agar para petani dapat terangsang untuk memproduksi beras dan
meningkatkan produktivitas padi di dalam negeri. Sehingga jikalaupun hasil padi
petani meningkat terlalu banyak atau mahal bagi masyarakat akan dibeli
pemerintah dengan daya beli yang sepadan, sehingga pemerintah dapat menjualnya
kembali kepada masyarakat dengan harga yang murah. Tetapi ada kalanya terdapat
tekanan harga beras (dan kebutuhan pokok lain) tidak terlalu mahal, terutama
pada saat daya beli anjlok, karena petani Indonesia sebenarnya justru menjadi net consumer (pemakai hasil berasnya)
dari komoditas beras ini.
Ketersediaan
kebutuhan pokok pangan beras yang bercukupan bagi masyarakat Indonesia adalah
dambaan pemerintah dan rakyat. Permasalahan yang akan dihadapi adalah ketika
produksi (supply) beras lebih rendah dari konsumsi (demand), sementara konsumsi
harus dipenuhi (tidak bisa ditunda), maka solusi sementara untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi beras nasional adalah dengan impor.
Pertanyaannya
apakah pemerintah pada masa ini dapat membalikan kondisi saat ini menjadi jauh
lebih baik dengan mengkondisikan supaya rakyat mendapatkan kebutuhan pokok
pangan yang merata sehingga negara Indonesia dapat mengekspor beras lagi seperti
sejak masa pemerintahan Soeharto, tetapi juga tidak mengorbankan penurunan
pemberdayaan pada bidang lain dan juga tidak terjadi kembali kesenjangan sosial
dikala itu. Sehingga tidak terulang kembali kebobrokan yang terjadi pada krisis
ekonomi moneter tahun 1997-1998, yang menyebabkan harga bahan pangan melonjak
naik.
Sesuai dengan judul dari penelitian
ilmiah ini maka penulis dapat menurunkan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana mengetahui pengaruh jumlah penduduk terhadap permintaan impor beras di Indonesia.
- Bagaimana mengetahui pengaruh produksi padi terhadap permintaan impor beras di Indonesia.
- Bagaimana mengetahui pengaruh harga beras terhadap permintaan impor beras di Indonesia.
1.3. Batasan Masalah
Agar pembahasan lebih tepat dan terarah, maka dibuat batasan
masalah bahwa data yang
dipakai adalah data yang diambil dari tahun 1980 –
2011 yaitu tentang jumlah
penduduk, besar produksi padi, harga beras di Indonesia.
1.4. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengumpulkan dan
menganalisa data yang diperoleh secara sistematis dan efisien untuk memecahkan
suatu masalah sehingga memperoleh suatu kesimpulan yang dapat dipakai untuk
program kerja selanjutnya,
dengan tujuan sebagai berikut:
- Untuk mengetahui pengaruh jumlah penduduk terhadap permintaan impor beras di Indonesia.
- Untuk mengetahui pengaruh produksi padi terhadap permintaan impor beras di Indonesia.
- Untuk mengetahui pengaruh harga beras terhadap permintaan impor beras di Indonesia.
1.5. Manfaat Penulisan
Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah :
1. Dapat mengaplikasikan ilmu dengan membandingkan teori-teori
yang diperoleh selama perkuliahan.
2. Dapat menjadi bahan perbandingan bagi pihak-pihak
berkepentingan dalam mengambil keputusan terkhusus keputusan untuk
menyelamatkan petani padi di Indonesia, yaitu dengan melakukan analisis
faktor-faktor sehingga
diketahui juga di bagian manakah yang perlu ditingkatkan maupun diminimumkan
supaya dapat memberikan suatu bahan pertimbangan yang nyata dan maksimal melihat
kegiatan impor beras yang semakin meningkat.
3.
Sebagai sumber informasi dan referensi untuk menambah pengetahuan bagi
mahasiswa dan pembaca.
1.6. Metode Penelitian
Untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh produksi, harga beras impor dan kurs rupiah pada permintaan
beras impor di Indonesia baik secara keseluruhan maupun parsial, diperlukan
teknik peramalan dan analisis yang lengkap.
Dalam hal ini, penulis menggunakan metode dan analisis regresi
linier berganda (Multiple Regression ).
Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah :
a. Penelitian Kepustakaan
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan mencari data dan informasi
dari berbagai media cetak maupun elektronik untuk tujuan mendapatkan referensi
yang akan dibutuhkan pada tinjauan teoritis.
b. Metode Pengumpulan Data
Dalam hal ini penulis mengumpulkan data sekunder dari berbagai
sumber sebagai berikut :
1. Badan Pusat Statistik
2. BULOG
3. Kementrian Perdagangan diolah oleh Pudatin, Kementrian Pertanian
c. Metode Pengolahan
Data
Langkah-langkah yang
dilakukan adalah :
1. Menentukan objek penelitian, akan memudahkan peneliti untuk
menetukan model atau jenis metode penelitian yang sesuai untuk memudahkan
pengolahan data.
2. Menentukan kelompok data mana yang menjadi variabel bebas (X)
maupun variabel tak bebas (Y).
3. Menentukan hubungan antar variabel sehingga diperoleh persamaan
regresi Y atas X.
4. Menentukan koefisien determinasi ( R2 ) yaitu untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh dari ketiga faktor atau ketiga variabel
bebas. Koefisien determinasi adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk
mengetahui sejauh mana tingkat hubungan antar variabel X dan Y untuk pengujian
regresi linier berganda yang mencakup lebih dari dua variabel.
Dimana
: Y = Variabel tak bebas
= Variabel regresi
= Rata-rata variable tak bebas Y
5.
Uji korelasi. Seperti halnya koefisien determinasi, koefisien korelasi juga
digunakan sebagai pengukur hubungan dua variabel yaitu variabel bebas terhadap
variabel tak bebas. Maka digunakan metode Karl Pearson :
6.
Melakukan uji koefisien untuk mengetahui tingkat nyata koefisien-koefisien
regresi yang didapat serta besar kontribusinya.
Pemantauan harga
beras di tingkat konsumen perkotaan selama bulan Oktober 2011 yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan
menunjukkan pola yang stabil di semua kota,
walaupun ada penurunan namun dalam kuantitas yang relatif kecil. Selama periode bulan Oktober 2011, harga beras
tertinggi terjadi di Surabaya pada minggu I sebesar Rp. 8.520,-/kg, sementara
harga terendah terjadi di Makasar pada minggu I hingga IV sebesar Rp.
6.100,-/kg (Grafik 1). Apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, maka harga
rata-rata beras pada bulan Oktober 2011 mengalami
peningkatan di semua kota yang berkisar antara 1,07 persen (Yogyakarta) hingga 3,21 persen (Makasar),
kecuali di Surabaya turun sebesar 6,24 persen dan di Medan tidak terjadi perubahan harga. Sementara, apabila dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya,
harga beras pada bulan Oktober 2011 mengalami peningkatan yang cukup signifikan di semua kota yakni
berkisar antara 3,71 persen (Jakarta) hingga
20,00 persen di Medan (Tabel 1).
Berdasarkan
pantauan dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) di 60 kabupaten terlihat bahwa harga
rata-rata beras pada bulan Oktober 2011 berkisar antara Rp. 5.789,-/kg (Kab. Wajo) hingga Rp.
11.000,-/kg (Kab. Kepahiang).
Berdasarkan hasil
analisis data deret waktu, maka pada bulan Nopember 2011 harga beras diproyeksikan
masih stabil, kalaupun ada tendesi peningkatan juga relatif sangat kecil. Pada bulan Nopember 2011, harga
rata-rata beras diperkirakan akan berkisar antara Rp. 6.116,-/kg (Makasar) hingga Rp. 7.800,-/kg (Medan).
Perkiraan harga pada bulan Nopember
ini akan bertahan hingga bulan Desember 2011. Pada bulan Desember 2011, harga beras diprediksi berkisar antara
Rp. 6.144,- (Makasar) hingga Rp. 7.800,-/kg di Medan (Tabel 1).
Tabel 4.4
Ekspor-Impor Beras Indonesia, Triwulan I 2010–Januari 2012
Eksp0ooor
|
Impor
|
|||||
Periode
|
Berat Bersih
(Kg)
|
Nilai
FOB (US$)
|
Berat Bersih
(Kg)
|
Nilai
CIF (US$)
|
||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
||
2010
|
345
232
|
451
624
|
687
581 501
|
360
784 998
|
||
Triwulan I
|
59
061
|
69
973
|
43
567 024
|
26
241 934
|
||
Triwulan II
|
60
500
|
65
745
|
72
900 660
|
31
749 466
|
||
Triwulan III
|
83
723
|
103
731
|
54
974 339
|
32
282 282
|
||
Triwulan IV
|
141
948
|
212
175
|
516
139 478
|
270
511 316
|
||
2011
|
378
847
|
836
730
|
2
750 620 017
|
1 513 183 688
|
||
Triwulan I
|
65
597
|
104
230
|
1
194 657 159
|
622
728 284
|
||
Triwulan II
|
105
052
|
151
407
|
315
690 405
|
170
527 950
|
||
Triwulan III
|
35
645
|
107
977
|
360
325 567
|
204
170 692
|
||
Triwulan IV
|
172
553
|
473
116
|
879
803 049
|
515
736 581
|
||
2012
|
26
695
|
68
542
|
355
940 358
|
205
088 530
|
||
Januari
|
26
695
|
68
542
|
355
940 358
|
205
088 530
|
Sumber: Laporan
Bulanan Data Sosial Ekonomi, Badan Pusat Statistik, Katalog 9199017, Edisi 22
maret 2012
Bab II
LANDASAN TEORI
2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Asal Padi
Padi yang bernama latin Oryza Sativa merupakan salah
satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Meskipun terutama mengacu
pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa
jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Padi
diduga berasal dari India atau Indocina dan masuk ke Indonesia dibawa oleh
nenek moyang yang migrasi dari daratan Asia sekitar 1500 SM.
Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari
semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan
sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan
padi dinamakan beras.
Berdasarkan klasifikasi Gould, padi dikelompokkan ke
dalam sub-famili Oryzoidae, suku Oryzae, gemus Oryza. Gemus Oryza memiliki 20
spesies, tetapi yang paling banyak dibudidayakan adalah Oryza Sativa L dan O.
Glaberrima Steund di Afrika. Berdasarkan penelitian Lu dan Chang (Lu dan Chang
dalam Manurung dan Ismunadji, 1998), proses evolusi dari Oryza Sativa
berkembang menjadi tiga ras ecogeographic, yakni Sinica (dulu dikenal sebagai
Japonica), Indica dan Javanica.
Daerah yang cocok untuk tanaman padi bervariasi,
mulai dari 35ᵒ Lintang Utara hingga 35◦ – 40◦ Lintang Selatan, mulai dari
daerah pantai hingga ketinggian 2400 meter dari permukaan laut. Di Indonesia,
padi ditanam hampir di semua altitude, mulai dari dekat pantai hingga ke
daratan tinggi dan pegunungan. Tanaman padi dapat tumbuh subur pada daerah yang
beriklim kering, panas dan matahari cerah pada tempat terbuka serta daerah yang
bebas naungan dan tidak terlindung oleh tanaman lain (Taslim dan Fagi 1988).
Umumnya padi yang diusahakan adalah padi sawah (85 - 90 persen) dan sisanya
adalah padi gogo.
2.2.
Situasi Penawaran dan permintaan Beras di Indonesia
Kondisi penawaran dan permintaan beras
di Indonesia dapat diidentifikasi berdasarkan perkembangan komponen utamanya
yaitu produksi, konsumsi,,harga beras,
impor, serta stok beras. Perkembangan setiap komponen tersebut akan diuraikan
berikut ini.
2.2.1.
Produksi
Keinginan pemerintah yang kuat untuk
mencapai swasembada pangan beras terutama diwujudkan dengan berbagai program
telah membuat pertumbuhan luas areal, produksi, dan produktivitas yang
meyakinkan. Sebagai pelopor revolusi hijau tahun 1960-an yang terus
meningkatkan produksinya sehingga mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Produksi padi nasional ditentukan oleh luas areal panen dan tingkat
produktivitasnya. Untuk mengetahui ikhtisar statistik dari produksi padi
disajikan pada Tabel 3.
Tabel
3. Ikhtisar Statistik Komoditi Beras di Indonesia Tahun 2000 sampai 2011
Tahun
|
Areal Panen
(juta Ha)
|
Produksi Padi
(juta ton)
|
Produktivitas
(ton/Ha)
|
Produksi Beras
(juta ton)
|
2000
|
11.79
|
51 893.60
|
4.40
|
32 692.97
|
2001
|
11.50
|
50 485.00
|
4.39
|
31 805.55
|
2002
|
11.52
|
51 498.87
|
4.47
|
32 444.29
|
2003
|
11.49
|
52 160.06
|
4.54
|
32 860.84
|
2004
|
11.92
|
54 130.42
|
4.54
|
34 102.16
|
2005
|
11.82
|
54 012.83
|
4.57
|
34 028.08
|
2006
|
11.78
|
54 454.93
|
4.62
|
35 250.04
|
lanjutan
|
||||
2007
|
12.14
|
57 157.43
|
4.71
|
36 450.89
|
2008
|
12.32
|
60 325.92
|
4.89
|
40 340.87
|
2009
|
12.88
|
64 398.89
|
5.00
|
42 302.65
|
2010
|
13.24
|
66 411.46
|
5.01
|
44 111.03
|
2011
|
13.65
|
68 235.97
|
5.14
|
45 670.25
|
Sumber:
BPS, 2011
Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa luas
areal panen cenderung menurun. Penurunan jumlah luas areal panen lebih banyak
disebabkan oleh alih fungsi lahan atau konversi lahan sawah karena adanya
pertumbuhan penduduk dan transformasi struktur perekonomian kearah yang
bersifat industri. Di pulau Jawa, sektor pertanian cenderung dikalahkan oleh
sector industri karena pemanfaatan lahan untuk tujuan industri dan perumahan
memberikan land rent 500 dan 622 kali dari manfaat untuk sawah
(Nasoetion dan Winoto (1996) dalam Djamal dan Djauhari (1998). Produksi padi
dan beras cenderung meningkat, hal ini berarti produktivitas padi nasional
mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2011. Untuk produksi beras
nasional sempat mengalami penurunan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2001
dan kemudian meningkat kembali sampai tahun 2010. Pada tahun 2011, produktivitas padi
nasional meningkat sebesar 0.17 ton per hektar dari tahun 2000. Peningkatan
produktivitas padi dapat dilihat dari kurva yang cenderung naik (Gambar 1).
5.01
|
5.00
|
4.89
|
4.71
|
4.57
|
4.54
|
4.54
|
4.47
|
4.39
|
4.40
|
4.62
|
5.14
|
Gambar 1. Perkembangan Produktivitas
Padi Indonesia Tahun 2000 sampai 2011
2.2.2.
Konsumsi
Beras merupakan makanan pokok yang
dikonsumsi 98 persen penduduk Indonesia. Data Konsumsi beras per tahun dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel
4. Perkembangan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 2000 sampai 2011
Tahun
|
Konsumsi Beras
(000 ton)
|
2000
|
24 878.69
|
2001
|
29 016.00
|
2002
|
29 665.00
|
2003
|
31 123.49
|
2004
|
33 621.32
|
2005
|
43 301.57
|
2006
|
45 210.65
|
2007
|
46 230.27
|
2008
|
48 450.33
|
2009
|
47.290.56
|
2010
|
48.280.19
|
2011
|
48.330.25
|
Sumber:
BPS, 2000-2011
Pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa
konsumsi beras per tahun penduduk Indonesia cenderung meningkat. Data tahun
2000 sampai 2011,
menunjukkan bahwa pada tahun 2000 konsumsi beras Indonesia meningkat yaitu
sebesar 4 137 310 ton. Peningkatan konsumsi beras sangat besar kemungkinannya
disebabkan oleh pengalihan pola konsumsi masyarakat dari makanan non-beras
menjadi beras atau nasi. Konsumsi beras per kapita per tahun terus meningkat
sampai sekarang.
Kondisi kesejahteraan penduduk di
Indonesia diukur dari perubahan pola konsumsi menunjukkan perbaikan sebagai
akibat dampak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998. walaupun
rata-rata pengeluaran penduduk mengalami sedikit kenaikkan pada tahun 1999,
akan tetapi pengeluaran tersebut masih lebih banyak diperuntukkan untuk
konsumsi makanan khususnya beras dan padi-padian lainnya (Irawan, 2001).
2.2.3. Harga Beras
Kebijakan harga pembelian pemerintah
(hpp) bertujuan agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga
mereka menerima intensif untuk meningkatkan produktifitas. Sebagai perwujudan
dari keberhasilan kepada petani, melalui inpres no.9 tahun 2002 pemerintah
menaikan hpp tersebut berdasarkan pertimbangan agar petani dapat menerima
margin keuntungan minimal 28 % dari harga yang diterima. Margin keuntungan tersebut
dapat dipandang sebagai intensif yang diberikan oleh pemerintah kepada petani
untuk meningkatkan produktivitas (Suryana dan Hermanto, 2003).
Disparitas harga gabah dan harga beras
yang semakin melebar sejak
kejatuhan
Presiden Soeharto menjadi persoalan tersendiri bagi ekonomi perberasan, disamping
dimensi politiknya yang juga semakin hangat.
Indeks
Harga yang Diterima Petani (IT) menunjukkan fluktuasi harga komoditas pertanian
yang dihasilkan petani. Pada Desember 2006, secara nasional indeks harga yang
diterima petani (IT) naik 3,34 persen dibandingkan dengan IT November 2006,
yaitu dari 588,45 menjadi 608,08. Subsektor Tanaman Bahan Makanan (TBM) naik
4,61 persen, sebaliknya subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat (TPR) turun 1,34
persen.
Bila NTP Desember 2006
dibandingkan November 2006, dari keempat kelompok pada subsektor TBM seluruhnya
mengalami kenaikan, masing-masing kelompok padi naik sebesar 7,44 persen, kelompok
palawija naik sebesar 2,10 persen, kelompok sayur-sayuran naik sebesar 3,97
persen dan kelompok buah buahan naik sebesar 0,94 persen. Bila NTP Desember
2006 dibandingkan dengan Desember 2005 (year-on-year), indeks harga yang
diterima petani naik 17,59 persen. Hal tersebut terutama disebabkan naiknya
indeks harga komoditas tanaman padi sebesar 26,59 persen.
2.2.4. Impor Beras
Impor beras dilakukan di setiap negara
dilakukan untuk memenuhi kelebihan konsumsi terhadap produksi dalam negeri.
Secara umum, suatu negara yang diwakili oleh pemerintahannya menjadi pemegang
peranan tunggal di pasar internasional. Jumlah impor beras Bulog di Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel
5. Impor Beras Bulog di Indonesia Tahun 2000
sampai 2011
Tahun
|
Impor (ton)
|
2000
|
34 225
|
2001
|
68 737
|
2002
|
1 000 586
|
2003
|
655 126
|
2004
|
29 350
|
2005
|
68 800
|
2006
|
83 100
|
2007
|
98 870
|
2008
|
88 350
|
2009
|
94 130
|
2010
|
100 050
|
2011
|
190 210
|
Sumber:
BULOG, 2011
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah
impor beras nasional yang dilakukan Bulog cenderung berfluktuasi dan hampir
tidak pernah mengekspor beras. Hal ini dipengaruhi oleh stok beras yang ada di
Bulog. Jumlah impor terbesar yang dilakukan Bulog yaitu pada tahun 2002 sebesar
1 000 586 ton beras. Jumlah impor terkecil dari data tahun 2001 sampai 2011 adalah pada tahun 2004
sebesar 29 350 ton.
Dari sumber lain dapat dilihat pada
Gambar 2 bahwa impor beras Indonesia cenderung menurun dari tahun 2002 sampai 2011. Jumlah impor pada
Gambar 2 dilakukan bukan hanya oleh Bulog tapi juga oleh pihak swasta. Dari
Grafik tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa jumlah impor terbesar pada
data tahun 2000 sampai 2011
adalah pada tahun 2002, hal ini disebabkan pada tahun yang sama jumlah impor
yang dilakukan oleh Bulog juga mempunyai nilai tertinggi dibandingkan tahun
lainnya.
68800
|
1000586
|
29350
|
655126
|
68737
|
34225
|
190210
|
100050
|
94130
|
88350
|
98870
|
83100
|
Gambar 2. Perkembangan Impor Beras Indonesia Tahun
2000 sampai 2011
Sumber: BPS, 2000-2011
2.2.5. Pengadaan dan
Penyaluran Beras
Kemampuan pengadaan gabah atau beras
Bulog ditentukan oleh dua variabel penting yaitu selisih harga dasar dan market
clearing. Makin tinggi selisih tersebut akan memberikan insentif buat
petani atau pedagang untuk menjual gabah atau berasnya ke pemerintah (Bulog).
Tingkat produksi gabah atau beras berpengaruh positif terhadap pengadaan Bulog.
Semakin tinggi tingkat produksi semakin besar yang dapat diserap oleh Bulog untuk
keperluan pengadaannya (Sawit, 2003). Pengelolaan pengadaan dan penyaluran
beras yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga Badan Urusan Logistik
(BULOG), bertujuan menjaga kestabilan harga dan ketersedian bahan pangan.
Sebagai salah satu lembaga pemerintah, Bulog memiliki peran sentral dalam
mengelola pangan nasional. Secara implisit, artinya Bulog diharuskan untuk
membuat kebijakan yang berpihak kepada konsumen tetapi tidak merugikan
produsen.
Tabel
6. Perkembangan Pengadaan dan Penyaluran Beras oleh Bulog Tahun 2000 sampai 2011 (
Ton)
Tahun
|
Pengadaan
|
Penyaluran
Beras
|
Keterangan
|
||
Gabah
|
Beras
|
Setara
Beras
|
|||
2000
|
711 297
|
1 726 690
|
2 174 807
|
2 548 677
|
-
|
2001
|
2 768 598
|
274 171
|
2 018 388
|
3 409 248
|
-
|
2002
|
2 827 007
|
350 594
|
2 131 608
|
2 618 051
|
-
|
2003
|
2 743 050
|
225 972
|
2 008 954
|
2 355 294
|
-
|
2004
|
2 945 570
|
181 989
|
2 096 610
|
2411 586
|
-
|
2005
|
2 094 935
|
199 434
|
1 529 718
|
2 232 151
|
-
|
2006
|
866 838
|
799 739
|
1,434,127
|
1 297 152
|
Penyaluran RASKIN
|
2007
|
2 085 250
|
850 210
|
1,765,987
|
1 542 247
|
-
|
2008
|
2 220 450
|
1 000 110
|
2,931,776
|
3,757,111
|
-
|
2009
|
2 450 010
|
790 575
|
3,611,695
|
3,613,321
|
-
|
lanjutan
|
|||||
2010
|
2 502 230
|
823 590
|
2,455,256
|
3,746,250
|
-
|
2011
|
2 550 450
|
1 050 100
|
2,670,265
|
3,660,452
|
-
|
Sumber: BULOG, 2011
2.2.6 Stock, Pengadaan, dan Penyaluran
Beras
Pengelolaan stok, pengadaan dan
penyaluran beras yang dilakukan oleh lembaga pemerintah melalui lembaga Badan
Urusan Logistik (BULOG), bertujuan menjaga kestabilan harga dan ketersediaan
pangan. Kemampuan pengadaaan beras yang dilakukan BULOG ditentukan oleh dua
variabel penting yaitu selisih harga dasar dan marketing clearing. Semakin tinggi selisih harga dasar dengan marketing clearing maka akan memberikan
intensif bagi petani untuk menjual gabah atau berasnya ke pemerintah (BULOG).
Tugas BULOG berdasarkan Peraturan
Menteri Perdagangan RI (Permendag) No.22/M-DAG/PER/10/2011 tentang penggunaan
Cabang Beras Pemerintah (CBP) untuk pengendalian gejolak harga. (1) CBP (Corps Brigade Pem-bangunan) adalah sejumlah
tertentu beras milik pemerintah pusat yang pengadaannya didanai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai cadangan penanggulangan keadaan
darurat, kerawanan pangan pasca bencana, pengendalian gejolak harga beras, dan
untuk memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat. (2) gejolak harga beras
adalah kenaikan harga beras ditingkat konsumen mencapai lebih dari 25 persen
dari harga normal dan berlangsung selama seminggu. (3) harga normal adalah
harga rata-rata beras kualitas medium ditingkat
konsumen yang telah berlangsung selama tiga bulan sebelum terjadinya gejolak
harga beras. (4) beras kualitas medium adalah kualitas yang setara dengan CBP.
Pengadaan beras nasional yang dibeli
pemerintah dari petani disimpan dan disalurkan pada gudang-gudang BULOG.
Apabila pengadaan dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri,
dilakukan pengadaaan dari luar negeri (impor). Saat musim paceklik, BULOG
melaksanakan operasi pasar murni (penjualan beras ke pasar) untuk mengurangi
laju kenaikan harga sehingga tidak melampaui batas tertinggi dan mengatasi
fluktuasi antar musim. Hal ini bertujuan untuk menjamin pasokan pangan yang
cukup pada tingkat harga yang wajar sebagai unsur penting dalam pengamanan
pangan nasional. Pengadaan pangan dalam negeri diharpkan dapat meningkatkan produksi
beras melalui jaminan harga yang memadai bagi petani (Amang, 1999).
Tabel
7. Stok, Pengadaan, dan
Penyaluran Beras di Indonesia Tahun 2000-2011
(Ton)
Tahun Stok Beras Pengadaaan Beras Penyaluran Beras
2000 1,470,502 1,529,718 2,233,216
2001 1,093,370 1,434,127 1,842,680
2002 1,274,084 1,765,987 2,934,449
2003 1,443,936 2,931,776 3,757,111
2004 1,912,413 3,611,695 3,613,321
2005 1,470,502 1,529,718 2,233,216
2006 1,093,370 1,434,127 1,842,680
2007 1,274,084 1,765,987 2,934,449
2008 1,443,936 2,931,776 3,757,111
2009 1,912,413 3,611,695 3,613,321
2010 2,255,103 2,455,256 3,746,250
lanjutan
2011 2,520,
323 2,670,265 3,660,452
Rata-Rata Laju Pertumbuhan
(%)
9,58 31,25 22,34
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah
pengadaan dan penyaluran beras cenderung berfluktuasi. Jumlah penyaluran beras
tertinggi dari data tahun 2000 sampai 2006 adalah pada tahun 2001 sebesar 3 409
248 ton. Jumlah penyaluran terendah pada tahun 2006 karena jumlah tersebut
hanya data penyaluran untuk RASKIN saja belum secara total, yaitu sebesar 1 297
152. Maka rata-rata laju pertumbuhan stok beras sebesar
9,58 %, pengadaan beras 31,25 %, dan penyaluran beras 22,34 %
2.3.
Kebijakan Pemerintah dalam Perberasan
Intervensi pemerintah dalam sektor beras
di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, karena sejak awal beras merupakan
pusat perhatian serta kebijakan pemerintah. Menurut catatan sejarah, kebijakan
pangan dan gizi di Indonesia telah ada sejak masa Pemerintahan Sunan Amangkurat
I (1645-1677), yang pada tahun 1655 melarang ekspor beras ke luar Jawa sebagai
akibat adanya kekeringan yang luar biasa. Walaupun kemudian harga beras
berfluktuasi secara tajam dan cenderung naik, impor beras pertama ke Jawa baru
terjadi pada tahun 1847. Sejak itu, arus perdagangan beras bervariasi dari
tahun ke tahun tergantung pada kondisi produksi beras domestik (Wahab dan
Gonarsyah, 1989). Dimulai dari tahun 1960- an, dimana Indonesia sebagi pelopor
revolusi hijau sampai akhirnya berhasil berswasembada beras pada tahun 1984.
tetapi swasembada beras ini hanya bertahan sampai tahun 1993 dan Indonesia
perlu mengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk akan beras.
Kebijakan terus dilakukan pemerintah mulai dari subsidi input, kebijakan harga
sampai kebijakan impor untuk mengatasi permasalahan perberasan di Indonesia.
Kebijakan perberasan nasional merupakan suatu paket kebijakan yang terdiri dari
5 elemen kebijakan seperti yang tertuang dalam INPRES No. 13 TAHUN 2005 tentang
kebijakan perberasan. Yaitu elemen peningkatan produksi, elemen diversifikasi,
elemen kebijakan harga, elemen kebijakan impor dan elemen distribusi beras
untuk keluarga miskin (RASKIN). Kebijakan tersebut dibuat guna melindungi petani
dan konsumen dari dampak negatif perdagangan internasional. Pada hakekatnya
terdapat tiga aspek yang saling berkaitan dalam kebijakan pangan dan gizi yaitu
aspek produksi, distribusi dan konsumsi (Wahab dan Gonarsyah, 1989).
2.3.1.
Kebijakan Harga
Kebijakan harga beras di Indonesia
pertama kali diajukan secara komprehensif dan operasional oleh Mears dan Afiff
(1969). Falsafah dasar kebijakan tersebut berisikan beberapa komponen sebagai
berikut : (1) menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi,
(2) perlindungan harga maksimum yang menjamin harga yang layak bagi konsumen,
(3) perbedaan yang layak antara harga dasar dan harga maksimum untuk memberikan
keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan beras, dan (4) hubungan
harga yang wajar antara daerah maupun terhadap harga internasional (Amang,
1989).
Kebijakan
pemerintah yang menonjol pada komoditi padi adalah kebijakan harga yang berguna
untuk stabilisasi harga dalam negeri dan perdagangan. Harga beras pada batas
bawah dikendalikan oleh harga dasar (floor price) dan pada batas atas
dengan harga batas tertinggi (ceiling price). Untuk dapat mempertahankan
harga pada tingkat harga dasar dilakukan dengan pembelian gabah dan beras pada
saat penawaran berlimpah (pada waktu panen) dan dilakukan injeksi beras ke
pasar pada waktu paceklik untuk mempertahankan harga agar tidak melampaui harga
batas tertinggi (Sapuan, 1989). Sebagai instrumen kebijakan harga adalah
penetapan harga dasar (floor price) dengan tujuan untuk meningkatkan
produksi beras dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga (guaranteed
price) yang wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling
price) dengan tujuan memberikan perlindungan kepada konsumen.
Bulog
adalah lembaga yang dirancang pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
stabilisasi harga, membeli beras pada tingkat tertentu yang telah ditetapkan
pemerintah, serta penyaluran beras untuk masyarakat rawan pangan dan emerjensi
(Amang, 2004). Kebijakan harga dasar yang ditetapkan pemerintah dalam memperbaiki
tingkat harga yang diterima petani, setelah tahun 1999 relatif kurang efektif
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan
harga
dasar yang ditetapkan pemerintah jauh diatas harga paritas impor, sehingga
membanjirnya beras impor yang masuk Indonesia (Kariyasa, 2003)
Ketidakefektifan harga dasar gabah (HDG)
membuat pemerintah mulai menggagas harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) yang
tidak lain merupakan transisi menuju pelepasan harga gabah ke pasar (Cahyono,
2001). Kebijakan harga dasar gabah berubah menjadi kebijakan dasar pembelian
pemerintah mulai tahun 2002 (Krisnamurthi, 2004). Perbedaan kebijakan harga
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
(a) Harga dasar gabah (b) Harga dasar
pembelian pemerintah
Gambar
3. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah dan Harga Dasar Pembelian Pemerintah
Dari Gambar 3(a) dapat dilihat bahwa
pada saat panen raya, Petani atau produsen akan mengalami peningkatan produksi
padi yang akan menggeser kurva supply ke kanan (S petani → S’ petani).
Akibat peningkatan produksi, maka harga akan turun sebesar P1. Untuk melindungi
petani dari kerugian, maka pemerintah membuat kebijakan harga dasar gabah
sebesar P2. dan pemerintah harus membeli surplus supply sebesar A-B dari
petani. Hal tersebut membutuhkan dana yang cukup besar, karena kapan pun,
dimana pun pemerintah harus membeli padi atau beras sebesar surplus supply yang
ada.
Sedangkan pada Gambar 3(b) dapat dilihat
bahwa pemerintah telah mempunyai persentase pembelian sebesar 8 persen dari
setiap supply yang ada. Nilai 8 persen diperoleh dari studi menggunakan
kurun waktu 20 tahunan bahwa pemerintah hanya membeli kurang lebih 8 persen
dari setiap supply pada saat panen raya. Dengan adanya proporsi sebesar
8 persen, maka memudahkan pemerintah untuk melakukan budgeting, planning
dan kalkulisasi anggarannya.
Dalam dinamika perberasan nasional,
Indrawati (1997) menganalisis bahwa pada masa Orde Baru kebijakan perberasan
bertujuan untuk menciptakan stabilisasi harga dan intensifikasi produksi.
Kebijakan stabilisasi harga ditempuh dengan menggunakan instrument stok
cadangan (buffer stock) maupun pengaturan harga (administered price).
Pemerintah setiap tahun menentukan harga dasar (floor price) bagi
produsen dan harga tertinggi (ceiling price) bagi konsumen. Bulog
bertanggung jawab untuk menjamin harga beras berada diantara harga tertinggi
dan terendah tersebut dengan melakukan operasi pasar dan
pendistribusian
(Amrullah, 2005).
2.3.2.
Kebijakan Impor
Indonesia adalah salah satu negara importir
beras terbesar di dunia, mencapai angka 3.5 – 4 juta ton per tahun (Slayton
& Associates, 2003 dalam Amang, 2004). Di luar kurun waktu tersebut
pemerintah menerapkan kebijakan lain, yaitu pengaturan jumlah impor (non-tarif)
untuk menjaga agar stok beras nasional tidak terganggu. Namun sesuai dengan
kesepakatan GATT/WTO, kebijakan non-tarif tidak lagi diperkenankan. Sejak tahun
1999, kebijakan pemerintah telah membebaskan semua pihak untuk melakukan impor
beras. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengusulan tarif bea masuk 60%
kepada pemerintah, karena pemerintah Indonesia sedang terlibat hutang dengan
IMF, tarif bea masuk tersebut menjadi 30% sesuai kesepakatan dengan IMF
(Yudohusodo, 2000). Penetapan tarif bea masuk atas impor beras melalui Keputusan
Menteri Keuangan RI NO. 568/KMK.01/1999 dengan tarif impor sebesar Rp 430 per
kilogram. Tujuan dari penetapan tarif impor adalah meningkatkan pendapatan
petani dan produksi beras, mengamankan kebijakan harga yang ditetapkan
pemerintah, stabilisasi harga dalam negeri, dan meminimumkan beban anggaran
pemerintah untuk mengamankan harga dasar (Simatupang, 1999).
Kebijakan tarif impor telah berdampak
terhadap distribusi pendapatan di antara pelaku pasar. Berkurangnya surplus
konsumen, meningkatnya surplus produsen, serta adanya kerugian sosial (akibat
terjadinya inefisiensi produksi dan inefisiensi ekonomi) seiring dengan
besarnya tingkat tarif yang diberlakukan (Kariyasa, 2003).
2.4. Pengertian dan
Permasalahan Ekonomi Makro
Ekonomi makro atau makro ekonomi adalah studi tentang
ekonomi secara keseluruhan. Makro ekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang
memengaruhi banyak rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar.
Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk memengaruhi
target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga
kerja dan pencapaian keseimbangan neraca
yang berkesinambungan.
Permasalahan
dalam ekonomi makro, yakni :
a. Masalah Kemiskinan dan Pemerataan
Dari segi distribusi pendapatan
nasional, penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Sebagian besar kekayaan
banyak dimiliki kelompok yang berpenghasilan besar atau kelompok kaya
Indonesia. Upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan ini melalui
berbagai cara, misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha
Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu),
GN-OTA dan program wajib belajar.
b. Krisis Nilai Tukar
Nilai tukar rupiah yang semula
dikaitkan dengan dolar AS secara tetap mulai diguncang spekulan yang
menyebabkan keguncangan pada perekonomian yang juga sangat tergantung pada
pinjaman luar negeri sektor swasta. Pemerintah menghadapi krisis nilai tukar
ini dengan melakukan intervensi di pasar untuk menyelamatkan cadangan devisa
yang semakin menyusut. Pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar yang
mengambang bebas sebagai pengganti kebijakan nilai tukar yang mengambang
terkendali.
c. Masalah Utang Luar Negeri
Depresiasi penurunan nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar AS yang relatif tetap dari tahun
ke tahun menyebabkan sebagian besar utang luar negeri tidak dilindungi dengan
fasilitas lindung nilai (hedging) sehingga pada saat krisis nilai tukar terjadi
dalam sekejap nilai utang tersebut membengkak. Untuk mengatasi ini, pemerintah
melakukan penjadwalan ulang utang luar negeri dengan pihak peminjam. Pemerintah
juga menggandeng lembaga-lembaga keuangan Internasional Untuk membantu
menyelesaikan masalah ini.
d. Masalah Perbankan dan Kredit Macet
Banyak usaha yang macet karena
meningkatnya beban utang mengakibatkan semakin banyaknya kredit yang macet
sehingga beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas
makin parah ketika sebagian masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap
sejumlah bank sehingga terjadi penarikan dana oleh masyarakat secara besar-besaran
(rush).
Oleh karena itu pemerintah
memutuskan untuk menyelamatkan bank-bank yang mengalami masalah likuiditas
tersebut dengan memberikan bantuan likuiditas. Namun untuk mengendalikan laju
inflasi, bank sentral harus menarik kembali uang tersebut melalui operasi pasar
terbuka. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan suku bunga SBI.
e. Masalah Inflasi
Masalah inflasi yang terjadi di
Indonesia tidak terlepas kaitannya dengan masalah krisis nilai tukar rupiah dan
krisis perbankan yang selama ini terjadi. Cara mengatasi inflasi dibedakan
menjadi dua bentuk yaitu :
1. Kebijakan Moneter,
yaitu segala kebijakan pemerintah di
bidang moneter (keuangan) yang dilakukan melalui Bank Indonesia (bank sentral)
dengan cara mengatur jumlah uang yang beredar. Melalui kebijakan moneter
pemerintah dapat mempertahankan, menambah atau mengurangi jumlah uang yang
beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi bertumbuh, sekaligus
mengendalikan inflasi.
2. Kebijakan Fiskal,
yaitu kebijakan ekonomi yang
digunakan pemerintah untuk mengolah / mengarahkan perekonomian ke kondisi yang
lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran
pemerintah.
f. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran
Pertumbuhan ekonomi
adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara
berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas
produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan
nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan
pembangunan ekonomi.
Berkurangnya daya serap lapangan
kerja berarti meningkatnya penduduk miskin dan tingkat pengangguran. Untuk
menekan angka pengangguran dan kemiskinan, pemerintah melakukan pelatihan bagi
tenaga kerja sehingga tenaga kerja memiliki keahlian sesuai dengan lapangan
kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat
karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja.
2.5.
Pengertian
Permintaan
Permintaan
adalah sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu harga dan waktu
tertentu. Sedangkan pengertian penawaran adalah sejumlah barang yang dijual
atau ditawarkan pada suatu harga dan waktu tertentu.
Contoh
permintaan adalah di pasar kebayoran lama yang bertindak sebagai permintaan
adalah pembeli sedangkan penjual sebagai penawaran. Ketika terjadi transaksi
antara pembeli dan penjual maka keduanya akan sepakat terjadi transaksi pada
harga tertentu yang mungkin hasil dari tawar-menawar yang alot.
2.5.1
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan (Demand)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa, antara lain:
- Perilaku konsumen / selera konsumen
Keinginan
konsumen untuk membeli dan menggunakan barang baru dan seiring perkembangan
jaman maka barang tersebut terjadi penyusutan nilai harga barang dan kuno.
Contoh kasus :
Saat
ini handphone X sedang trend dan banyak yang beli, tetapi beberapa tahun
mendatang mungkin X sudah dianggap kuno.
- Ketersediaan dan harga barang sejenis pengganti dan pelengkap
Jika
kebutuhan utama tidak ada atau harga sangat mahal, maka barang pelengkap
kebutuhan utama akan mengalami penurunan permintaan.
Contoh kasus :
Jika
roti tawar tidak ada atau harganya sangat mahal maka meises, selai dan margarin
akan turun permintaannya.
- Pendapatan/penghasilan konsumen
Pendapatan
seseorang yang besar akan dapat memenuhi kebutuhannya dalam membeli banyak
barang, sebaliknya jika pendapatannya rendah maka seseorang akan meminimalisasi
pemakaian barang yang dibelinya.
Contoh kasus :
Seseorang
memiliki gaji dan tunjangan besar dia dapat membeli banyak barang yang dia
inginkan, tetapi jika pendapatannya rendah maka seseorang mungkin akan mengirit
pemakaian barang yang dibelinya agar jarang beli.
- Perkiraan harga di masa depan
Barang
yang harganya diperkirakan akan naik, maka orang akan menimbun atau membeli
ketika harganya masih rendah.
Contoh kasus :
BBM (Bahan Bakar Minyak)/bensin.
- Banyaknya/intensitas kebutuhan konsumen
Kebutuhan akan barang sesuai
kebutuhan atau saat itu sangat diperlukan.
Contoh kasus :
Ketika
flu burung dan flu babi sedang menggila, produk masker pelindung akan sangat
laris. Pada bulan puasa (ramadhan) permintaan belewah, timun suri, cincau,
sirup, es batu, kurma, dan lain sebagainya akan sangat tinggi dibandingkan
bulan lainnya. Begitu juga hari-hari besar lainnya.
2.5.2 Macam-macam Permintaan
- Permintaan berdasarkan daya beli konsumen terdiri dari:
a. Permintaan efektif, yaitu permintaan
yang disertai dengan daya beli dan sudah dilaksanakan. Permintaan efektif ini
dapat diketahui dari tinggi rendahnya hasil penjualan barang/jasa.
b. Permintaan potensial, yaitu
permintaan yang disertai dengan kemampuan membeli tetapi belum terjadi
transaksi. Misalnya orang-orang kaya yang menghadiri penawaran suatu produk
baru, memiliki kemampuan sekaligus keinginan untuk memiliki barang yang
ditawarkan, tetapi belum melakukan transaksi pembelian.
c. Permintaan absolut, yaitu permintaan
yang tidak didukung dengan kemampuan membeli. Keadaan ini menunjukkan rendahnya
daya beli masyarakat, tetapi keinginan untuk memiliki barang sangatlah besar.
- Permintaan berdasarkan jumlah konsumennya terdiri dari:
a. Permintaan Individual, yaitu
permintaan terhadap sejumlah barang di pasar pada waktu dan harga tertentu yang
dilakukan oleh individu tertentu.
b. Permintaan pasar, yaitu permintaan
terhadap suatu barang di pasar pada waktu dan harga tertentu yang dilakukan
oleh sekelompok konsumen.
Kurva Permintaan
Hukum permintaan yang telah kalian pelajari di atas dapat
digambarkan menggunakan suatu grafik yang disebut kurva permintaan.
Gambar 4. Kurva Permintaan
Garis yang menghubungkan titik-titik
potong antara harga dan kuantitas yang diminta.
Pergeseran Kurva Permintaan
Pergeseran kurva permintaan menunjukkan adanya perubahan
permintaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor selain harga. Pergeseran kurva
permintaan ditunjukkan dengan bergeraknya kurva ke kanan atau ke kiri.
Gambar 5. Pergeseran Kurva Permintaan
2.6.
Pengertian
Impor
Impor
adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara
lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya
adalah tindakan memasukan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam
negeri. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai
di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari
perdagangan internasional, lawannya adalah ekspor.
Ada
pula yang mengertikan Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah
Pabean.
2.6.1. Perbedaaan Impor Untuk Dipakai dan Impor Sementara
Impor untuk dipakai adalah :
1. Memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai;
atau memasukkan barang ke dalam daerah.
2. Pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di
Indonesia.
Impor Sementara adalah :
Memasukkan barang ke dalam
daerah pabean dan benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3
(tiga) tahun.
Impor untuk dipakai diantaranya
:
1. Dimiliki
atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia
2. Tidak
dimasudkan diekspor kembali
3. Permanen
4. BM dan
PDRI dilunasi
5. Tidak
dalam pengawasan.
Impor Sementara yakni,
1. Tidak
dimiliki/dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia
2.
Dimaksudkan untuk diekspor kembali
3. Jangka
waktu tertentu
4.
Seluruh/sebagian BM dan PDRI ditangguhkan
5. Dalam
pengawasan pabean.
2.7.
Pengertian
Analisis
Defini mengenai
analisis, yaitu:
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:43) :
“Analisis adalah penguraian suatu
pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta hubungan
antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti
keseluruhan.”
Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa analisis adalah proses berpikir yang bertujan untuk
menguraikan suatu pokok menjadi bagian-bagian atau komponen terkecil sehingga
dapat diketahui ciri atau tanda tiap bagian, hubungan satu sama lain, dan
fungsi masing-masing bagian dari keseluruhan.
2.8.
Sejarah Kebijakan Perberasan Nasional
Pemerintah pada zaman Orde Baru
menyediakan kredit dengan bunga rendah serta pupuk kimia, bibit unggul dan
pestisida dengan harga yang disubsidi oleh pemerintah. Harga gabah/padi petani
juga dilindungi melalui penerapan harga dasar gabah dan Bulog diberi tugas
untuk membeli gabah petani sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan
pemerintah. Setiap tahun sebelum masa
tanam musim hujan, pemerintah menetapkan harga pupuk kimia, pestisida, bibit
unggul dan harga dasar gabah untuk memberikan insentif bagi petani menerapkan
teknologi maju (SBP Bimas, 1997).
Melalui kebijakan HDG tersebut,
kelebihan produksi pada saat panen dibeli oleh Bulog pada tingkat harga yang
telah ditetapkan untuk stok gudang Bulog sehingga bisa dipakai pada saat harga
beras melonjak. Di sisi lain, untuk
melindungi konsumen beras, terutama masyarakat miskin di perkotaan, ketika
harga yang terjadi di pasar terlalu tinggi maka diadakan operasi pasar. Dengan operasi pasar tersebut, pemerintah
sebenarnya menambah penawaran sehingga
peningkatan
harga yang terjadi tidak sampai memberatkan konsumen.
Semenjak
tahun 1999 kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) sudah tidak lagi efektif. Hal ini
dikarenakan unsur- unsur penopang kebijakan tersebut dihilangkan satu per satu
(Amang dan Sawit, 1999). Unsur-unsur
penopang kebijakan HDG antara lain:
1.
Insulasi pasar beras domestik dari pasar internasional dihilangkan dengan
dicabutnya monopoli beras yang selama
itu dimiliki Bulog, disubstitusi oleh kebijakan tarif impor beras sebesar 30
persen yang tidak efektif karena adanya penyelundupan atau under invoice
dokumen impor.
2.
Captive market bagi beras Bulog, yang berupa catu beras bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) sudah dihilangkan, sehingga outlet bagi beras Bulog menjadi
terbatas. Hal ini menyebabkan kemampuan
Bulog untuk menyerap kelebihan pasar menjadi terbatas.
3.
Dana KLBI yang dapat dimanfaatkan Bulog dan koperasi untuk pembelian
gabah/beras petani dihapuskan sehingga Bulog harus mendanai operasinya dengan
dana komersial. Hal tersebut membatasi
kemampuan kedua institusi dalam melaksanakan pengadaan pangan dari produksi
domestik.
4.
Berbagai subsidi input dihilangkan.
Kebijakan
ini meningkatkan biaya usahatani, sehingga petani mengharapkan harga gabah yang
tinggi.
Hal yang membuat kebijakan HDG semakin
sulit diterapkan dengan baik adalah bahwa tingkat HDG yang ditetapkan tidak
berdasarkan rasionalitas ekonomi dan tidak mempertimbangkan dinamika pasar
internasional, padahal ekonomi beras sudah diliberalisasikan.
Pada
tahun 1999, pemerintah membuka ekonomi perberasan Indonesia terhadap pasar
global. Impor beras yang sebelumnya
dimonopoli Bulog dapat dilakukan oleh pihak swasta secara bebas. Bahkan selama tahun 1999 – 2000 beras tidak
dikenai bea masuk. Kebijakan ini dapat
diterima karena pada saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis yang
kebetulan bersamaan dengan penurunan produksi beras nasional yang nyata karena
dampak kemarau panjang
(El
Nino) dan devaluasi mata uang sehingga harga beras dalam negeri pada saat
itu
naik hingga 2 – 3 kali lipat.
2.9.
Pengertian
Beras
Beras
merupakan kebutuhan yang sangat penting dan termasuk dalam Sembilan bahan pokok
kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Beras adalah
bagian bulir padi (gabah) yang telah dipisah dari sekam. Sekam (Jawa merang)
secara anatomi disebut ‘palea’ (bagian yang ditutupi) dan ‘lemma’ (bagian yang
menutupi).
Pada salah
satu tahap pemrosesan hasil panen padi, gabah ditumbuk dengan lesung atau
digiling sehingga bagian luarnya (kulit gabah) terlepas dari isinya. Bagian isi
inilah, yang berwarna putih, kemerahan, ungu, atau bahkan hitam, yang disebut
beras.
2.9.1. Jenis-jenis
Beras
Beras
ada 2 macam beras yang sering kita makan sehari-hari yaitu :
1.
Beras organik
Beras
jenis ini biasanya hanya terdapat di pasar-pasar swalayan atau pasar-pasar yang
sudah modern, harga beras ini relatif mahal karena tanpa zat kimia, memerlukan
proses budidaya yang cukup rumit dan perawatan yang cukup mahal akan tetapi
harga mahal itu terbayar dengan kualitas, kelezatan, dan kesehatan yang kita
dapat setelah mengkonsumsi beras organik.
Jadi
dapat definisikan beras organik adalah beras yang tidak ada kandungan kimia
buatan dan tidak menggunakan bahan kimia dalam proses budidayanya.
2.
Beras non organik atau beras yang sering kita makan
Beras
jenis ini sangat banyak di jumpai, dari mulai pasar tradisional sampai pasar
swalayan bisa kita dapatkan beras dengan jenis non organik, harga beras jenis
ini lebih murah karena dalam prosesnya tidak sesusah dalam pembuatan beras
organik tentu saja dalam hal kualitas, rasa, dan kesehatannya pun tidak sebaik
beras organik.
2.3 Kajian
Penelitian Sejenis
Untuk
menambah referensi penulis dalam penulisan ilmiah maka penulis melampirkan
beberapa penulisan ilmiah dari peneliti lain diantaranya:
Judul :
Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya
Terhadap Harga Beras Dalam Negeri
Nama : Arif Abdul
Azziz
Tahun :
2006
NRP : A14102047
Fakultas :
Pertanian
Pembimbing :
Ir. Harmini, M.Si
Komoditi pangan yang sangat
penting bagi bangsa Indonesia adalah beras, terutama karena: (1) beras
merupakan bahan pangan dan sumber kalori yang utama bagi sebagian besar bangsa
Indonesia, yakni lebih dari 90 persen dari total penduduk di Indonesia; (2)
usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi 21 juta keluarga petani dan: (3)
sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dipergunakan untuk
membeli beras (Bustaman, 2003). Selain itu, pangsaberas dalam konsumsi kalori
total adalah 54,3 persen dan berkontribusi sebesar 40 persen dalam asupan
protein (Harianto, 2000).
Meskipun pemenuhan kebutuhan
beras nasional diupayakan lewat produksi padi domestik, tetapi jika terjadi kekurangan
pasokan beras maka impor harus dilakukan. Namun, impor beras diupayakan tidak
terlalu besar mengingat ada hal-hal yang patut diperhatikan. Pertama, pasar
beras internasional merupakan pasar yang tipis sehingga cenderung berfluktuasi
dalam hal harga dan kuantitas yang diperdagangkan. Impor yang terlalu besar
juga dapat mengakibatkan munculnya pemaksaan politis dari negara eksportir.
Penelitian ini bertujuan
menganalisis pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi harga beras dalam negeri, termasuk kebijakan pemerintah.
Penelitian ini juga menganalisis kecenderungan impor beras ke depannya melalui analisis
pola data yang ditunjukkan impor beras Indonesia, pemilihan metode
peramalan yang terbaik dalam menduga impor beras Indonesia serta meramalkan
impor beras Indonesia dalam lima periode mendatang.
Berdasarkan model
ekonometrika yang terbentuk, diketahui bahwa ternyata impor beras secara nyata mempengaruhi harga
beras dalam negeri dengan tingkat kepercayaan 15 persen. Pengaruh tersebut
adalah negatif dimana jika impor beras meningkat maka harga beras dalam negeri
akan menurun, tetapi responnya inelastis baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi impor beras secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga
terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri (taraf nyata 1 persen);
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (taraf nyata 5 persen) dan produksi beras
nasional (15 persen). Faktorfaktor yang mempengaruhi impor beras secara negatif
adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
harga beras impor dan hargaterigu. Sedangkan faktor yang mempengaruhi impor
beras secara positif adalah harga beras dalam negeri dan kebijakan impor beras
dimana ketika impor beras dapat dilakukan tanpa dikenakan tarif impor, impor
beras lebih besar daripada ketika tarif impor beras sudah diterapkan. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dengan menerapkan tarif untuk
impor beras sudah efektif dalam upaya ngurangi volume beras impor yang masuk ke
Indonesia.
Penelitian ini menerapkan
berbagai teknik dalam metode peramalan time series,
yaitu model peramalan naive, analisis tren, rata-rata sederhana,
rata-rata bergerak sederhana, single exponential smoothing,
double exponential smoothing satu parameter dari Brown, double exponential
smoothing dua parameter dari Holt, model Winters’, model dekomposisi dan ARIMA yang
ditrapkan pada data time series impor beras periode 2000 hingga 2005.
Selain menggunakan metode peramalan time series, penelitian ini juga menggunakan
model regresi berganda dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
impor beras serta menganalisis pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam
negeri.
Hasil penelitian ini antara
lain bahwa pola yang ditunjukkan impor beras pada periode 1999 hingga 2005 menunjukkan pola yang
stasioner dimana impor beras pada awalnya menurun dan pada tahun 2002 – 2003
impor beras kembali meningkat. Volume impor beras pada tahun 2004 - 2005
kemudian menunjukkan
besaran yang kecil dibandingkan pada tahun-tahun
sebelumnya. Model peramalan time series yang paling baik dalam
meramalkan impor beras berdasarkan kriteria RMSE adalah model analisis
tren kuadratik. Tiga
model peramalan dengan besaran RMSE terkecil
berturut-turut adalah model tren kuadratik dengan dummy musiman (RMSE =
124.3873), model tren kuadratik tanpa dummy musiman (134.109) dan model ARIMA
(1, 0, 0)(0, 0, 1)4(134.3137).
Hasil ramalan menggunakan
model peramalan terbaik memperlihatkan tren yang menurun dan volume impor beras yang masuk
menunjukkan besaran yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
dalam lima periode ke depan tidak melakukan impor beras.
Judul Tesis :
Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian
Pemerintah Terhadap Penawaran Dan Permintaan Beras Di Indonesia
Nama : Ria
Kusumaningrum
Tahun :
2008
NRP : A.151040181
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Fakultas :
Pertanian - IPB
Pembimbing :
Dr.Ir. Harinto, M.S
Prof.Dr.Ir. Bonar M.Sinaga, M.A
Model yang dirumuskan adalah model
linear persamaan simultan, dengan metode pendugaan two stage least squares
method (2SLS), penyajian persamaan perilakunya (structural behavior)
berdasarkan tanda dan besarannya (magnitude and sign), koefisien
determinasi (R2), statistik t dan F dan selanjutnya uji serial korelasi (autocorrelations),
Metode pendugaan model, Validasi
model, Koefisien determinasi,
Statistik RMSP, Statistik
U.
Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan tentang dampak kebijakan harga dasar pembelian
pemerintah terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penawaran
beras di Indonesia dipengaruhi oleh produksi beras Indonesia, jumlah beras
untuk benih atau susut, stok beras awal tahun Bulog, jumlah impor dan ekspor
beras Indonesia.
2. Luas areal panen dipengaruhi secara nyata oleh
kredit usahatani, curah hujan dan luas areal serangan hama penyakit, tetapi
responnya inelastis, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Faktor harga
tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal panen, hal ini membuktikan bahwa
terdapat faktor lain yang lebih dipertimbangkan produsen padi dalam peningkatan
luas areal panen, misalnya teknologi.
3. Produktivitas padi pada tahun sebelumnya
berpengaruh terhadap produktivitas padi kini dan responnya inelastis. Artinya
terdapat tenggang waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan diri kembali
pada tingkat keseimbangannya bagi produsen dalam merespon perubahan situasi
ekonomi yang terjadi.
4. Respon produksi padi yang diduga dari peningkatan
luas areal panen dan produktivitas tidak responsif terhadap harga. Hal ini
membuktikan bahwa harga bukanlah faktor utama bagi petani untuk meningkatkan
produksinya.
5. Permintaan beras untuk konsumsi dipengaruhi secara
nyata oleh harga beras eceran, harga jagung, jumlah penduduk dan permintaan
beras untuk konsumsi tahun sebelumnya. Permintaan beras untuk konsumsi tidak
responsif terhadap harga beras eceran dan harga jagung baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Perubahan harga beras eceran dan harga jagung berdampak
kecil terhadap perubahan permintaan beras, karena nilai elatisitasnya lebih
kecil dari satu. Sedangkan permintaan beras untuk konsumsi responsif terhadap
jumlah penduduk Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah impor beras
Indonesia adalah stok beras Bulog awal tahun, perubahan harga beras eceran, dan
jumlah impor beras tahun sebelumnya. Jumlah impor beras tidak responsif
terhadap stok beras Bulog awal tahun dan perubahan harga beras eceran pada
jangka pendek, tetapi pada jangka panjang responnya elastis. Harga impor beras
Indonesia dipengaruhi oleh perubahan harga beras dunia dan harga impor beras
tahun sebelumnya.
7. Apabila
dilihat dari peningkatan produksi padi Indonesia, terlihat bahwa kebijakan
harga dasar pembelian pemerintah lebih efektif dibandingkan kebijakan harga
dasar gabah. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan produksi beras Indonesia
periode harga dasar pembelian pemerintah lebih tinggi dibandingkan periode
harga dasar gabah.
8. Menaikkan harga dasar pembelian pemerintah, sebesar
15 persen lebih tinggi dari rata-rata kebijakan yang telah diterapkan, akan
berdampak pada peningkatan produksi padi, tetapi kenyataannya juga diikuti oleh
jumlah impor beras yang meningkat. Hal ini dikarenakan produksi beras Indonesia
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah impor beras. Kebijakan harga dasar
pembelian pemerintah akan merugikan konsumen, karena surplus konsumen
berkurang.
9. Kebijakan menurunkan harga dasar pembelian
pemerintah sebesar 15 persen, apalagi jika harga dasar pembelian pemerintah
dihapuskan, akan menurunkan produksi padi sehingga jumlah penawaran beras juga
mengalami penurunan. Kebijakan ini bersifat bias ke konsumen, sehingga akan
merugikan produsen beras.
10.Kombinasi kebijakan menaikkan harga dasar pembelian
pemerintah bersamaan dengan kebijakan lain, seperti harga pupuk urea, luas
areal intensifikasi, luas areal irigasi, tarif impor dan nilai tukar akan
berdampak pada peningkatan produksi padi Indonesia sehingga penawaran beras
meningkat, sedangkan jumlah permintaan beras untuk konsumsi akan menurun
disebabkan oleh peningkatan harga beras eceran. Selain itu kombinasi kebijakan
ini juga akan meningkatkan pendapatan usahatani padi per hektar. Kombinasi
kebijakan tersebut memberikan keuntungan kepada produsen sedangkan konsumen
dirugikan dengan kehilangan surplus konsumen.
TABEL 1
INDIKATOR
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO
1998
– 2000 (TRIWULAN I)
Indikator |
1998
|
1999
|
1999
|
2000
|
|||
Trw.
I
|
Trw.
II
|
Trw. III
|
Trw. IV
|
Trw.
I
|
|||
Perkiraan
Indikator Pokok
|
|||||||
Impor
|
-5,4
|
-2,0
|
1,1
|
0,3
|
1,3
|
0,1
|
0,8
|
Pertumbuhan PDB (%) 10)
Pertanian
|
-0,7
|
8,8
|
9,8
|
-6,2
|
-4,0
|
2,1
|
-8,5
|
Industri Pengolahan
|
-11,4
|
-7,1
|
9,0
|
1,1
|
8,5
|
2,6
|
7,2
|
Non migas
|
-13,1
|
-8,3
|
9,0
|
0,9
|
8,6
|
2,2
|
7,4
|
Lainnya
|
-16,7
|
-12,6
|
-0,3
|
3,6
|
6,0
|
-1,2
|
5,5
|
Distribusi PDB (%) 10)
Pertanian
|
17,6
|
22,3
|
21,3
|
18,4
|
15,9
|
19,5
|
18,5
|
Industri Pengolahan
|
24,1
|
24,7
|
24,0
|
26,1
|
27,0
|
25,4
|
25,3
|
Non migas
|
20,8
|
22,1
|
21,4
|
22,9
|
23,5
|
22,5
|
22,3
|
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian yang akan diteliti
adalah factor-faktor yang mempengaruhi impor beras nasional
di Indonesia data yang diambil dari tahun
2000 –
2011 yaitu tentang jumlah
penduduk, besar produksi padi, harga beras di Indonesia.
3.2 Data / Variabel
Penelitian
Data yang akan
diteliti dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data
yang diperoleh dari pihak ke-2 (dua) atau secara tidak langsung yang berkaitan
dengan objek yang akan diteliti. Data sekunder tersebut uumnya tersedia di
buku-buku, majalah, jurnal, dan sumber lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini.
Keuntungan utama
dari penggunaan data sekunder adalah bahwa biaya yang diperlukan untuk
memperolehnya tidak semahal jika kita menggunakan data primer. Selain itu, data
sekunder lebih mudah didapatkan daripada data primer. Jenis data yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini adalah :
1. Data
kualitatif
Data kualitatif adalah data yang
berbentuk kata, kalimat, skema, dan gambar. Dalam penulisan ini, data yang
digunakan telah mengalami pengolahan oleh sumbernya.
2. Data
kuantitatif
Data kuantitatif adalah data yang
berbentuk angka-angka atau data kuantitatif yang disajikan dalam bentuk angka.
Sifat data ini adalah data runtut waktu yaitu data yang merupakan hasil
pengamatan dalam suatu periode tertentu.
Penelitian ini
juga menggunakan variabel bebas (X1 = konsumsi; X2 = produksi padi; X3
= harga beras) dan
variabel terikat (Y = faktor impor beras).
3.3 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan laporan keuangan perusahaan
jasa telekomunikasi yang telah go public
dan terdaftar di Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (Statistics
Indonesia) dan BULOG. Untuk mempermudah penelitian, maka penulis memperoleh
data yang bersumber dari akses internet http://www.bps.go.id/ dan http://www.bulog.co.id/
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Tujuannya adalah untuk
memperoleh data sekunder dan untuk mengetahui indikator-indikator dari variabel
yang diukur. Penelitian ini juga berguna sebagai pedoman teoritis pada waktu
melakukan penelitian lapangan serta untuk mendukung dan menganalisis data,
yaitu dengan cara mempelajari literatur-literatur yang relevan dengan topik
yang sedang diteliti.
3.5 Alat Analisis yang Digunakan
1. Analisis
regresi linier berganda
Menurut Titasandy (2009), analisis regresi berganda (Multivariate Regression) merupakan suatu
model dimana variabel terikat tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Analisis
ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas/ independen terhadap
variabel terikat. Analisis regresi berganda dapat dinyatakan dengan persamaan
berikut
Y = a + b1X1
+ b2X2+ …….+ bnXn
Dimana: Y =
variabel tak bebas/ terikat
X = variabel-variabel bebas
a = konstanta (intersept)
b = koefisien regresi/ nilai parameter
Hasil persamaan regresi berganda tersebut kemudian
dianalisis dengan menggunakan beberapa uji yaitu:
a.
Uji T ( Secara Parsial )
Uji t digunakan untuk menguji setiap variabel bebas
(X) apakah memepunyai pengaruh yang signifikaan terhadap variabel terikat (Y),
bentuk pengujian:
Ho = b1 = 0, tidak terdapat
pengaruh yang signikan dari variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).
Ha = b1 ≠ 0, terdapat pengaruh
yang signifikan dari variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).
Dengan kriteria pengambilan keputusan:
Ho diterima jika t hitung < t
tabel pada α = 5 %
Ha diterima
jika t hitung > t tabel pada α = 5 %
b.
Uji F ( Secara Simultan )
Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh bersama-sama
variabel independen ( jumlah penduduk,
produksi padi, harga beras ) terhadap variabel independen ( faktor impor beras
). Bentuk pengujian:
Ho = b1 = b2 = b3
= b4 = 0, tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara
bersama-sama dari variabel independen terhadap variabel dependen.
Ha ≠
b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0, terdapat
pengaruh yang signifikan secara bersama-sama dari variabel independen terhadap
variabel dependen.
Dengan kriteria pengambilan keputusan:
Ho diterima jika F hitung < F
tabel pada α = 5%
Ha diterima jika F hitung > F
tabel pada α = 5%
c.
Koefisien Determinasi
Digunakan untuk mengukur kebenaran penggunaan model
analisis regresi. Jika nilai koefisien determinasi R = 0 berarti diantara
variabel bebas dengan variabel terikat tidak ada hubungannya, sedangkan bila R
= 1 berarti antara variabel bebas dengan variabel terikat mempunyai hubungan
kuat.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum BPS
Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Lembaga Pemerintah
Non-Departemen yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. BPS
di pimpin oleh seorang Kepala.
Tugas:
Badan Pusat Statistik
berkewajiban melaksanakan tugas pemerintahan dibidang kegiatan statistik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi:
Dalam melaksanakan tugas,
BPS menyelenggarakan fungsi:
1.
Pengkajian dan penyusunan kebijakan
nasional di bidang kegiatan statistik;
2.
Penyenggaraan statistik dasar;
3.
Koordinasi kegiatan fungsional
pelaksanaan tugas BPS;
4.
Fasilitas dan pembinaan terhadap
kegiatan instansi pemerintah di bidang kegiatan statistik;
5.
Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan
administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan
tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan
dan rumah tangga.
Kewenangan
Dalam
menyelenggarakan fungsi, BPS mempunyai kewenangan:
1.
Penyusunan rencana nasional secara makro
di bidangnya;
2.
Perumusan kebijakan di bidangnya untuk
mendukung pembangunan secara makro;
3.
Penetapan sistem informasi di bidangnya;
4.
Penetapan dan penyelenggaraaan statistik
nasional;
5.
Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:
-
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan
tertentu di bidang kegiatan statistik,
-
penyusunan pedoman penyelenggaraan
survei statistik sektoral
Sumber : Admin BPS.
4.1.1
Sejarah
BPS Republik Indonesia
Tahun
|
Tempat
/Perundang-undangan
|
Perubahan Nama / Ket.*
|
1920, Februari
|
Bogor
|
oleh Direktur
Pertanian, Kerajinan, dan Perdagangan (Directeur van Landbouw Nijveirhed en
Handel) di Bogor yang bertugas mengolah dan mempublikasikan data statistik
pada masa pemerintahan Hindia – Belanda
|
1924
|
Jakarta
|
Central
Kantoor Voor de Statistiek (CKS) atau Kantor Pusat Statistik
|
1942 – 1945
|
Shomubu
Chosasitsu Gunseikanbudan
|
|
1945 – 1965
|
Kantor
Penyelidikan Perangkaan Umum (KAPPURI)
|
|
1950
|
Kantor Pusat
Statistik (KPS)
|
|
1957
|
Biro Pusat
Statistik (BPS)
|
|
1966 –
sekarang
|
* Kantor
Statistik dan Sensus Daerah. 3 peraturan pemerintah tentang sensus, yakni
Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, Sensus Ekonomi
|
|
1997,
26 September
(Hari
Statistik)
|
UU No.16 Tahun
1997
|
Badan Pusat
Statistik (BPS)
|
1998
|
Keppress No.86
Tahun 1998
|
*Tentang Badan
Pusat Statistik
|
1999
|
PP No.51 Tahun
1999
|
*Penyelanggaraan
Statistik
|
2000
|
*BPS masuk
sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND)
|
4.2 Gambaran Umum BULOG
BULOG
adalah perusahaan umum milik negara yang bergerak di bidang logistik pangan.
Ruang lingkup bisnis perusahaan meliputi usaha logistik/pergudangan, survei dan
pemberantasan hama, penyediaan karung plastik, usaha angkutan, perdagangan
komoditi pangan dan usaha eceran. Sebagai perusahaan yang tetap mengemban tugas
publik dari pemerintah, BULOG tetap melakukan kegiatan menjaga Harga Dasar
Pembelian untuk gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, menyalurkan
beras untuk orang miskin (Raskin) dan pengelolaan stok pangan.
4.2.1 Sejarah Perum
BULOG
Tahun
|
Keterangan
|
Keputusan
Presium kabinet
|
1967 10 Mei
|
Dibetuknya BULOG
|
No.114/U/Kep/5/1967
|
1969
21 Januari |
Revisi
|
No.39/U/Kep/1/1969
|
1987
|
Revisi
|
No.39/U/Kep/1987
|
1993
|
Revisi
|
No.103/U/Kep/1993
|
1995
|
Revisi
|
No.50/U/Kep/1995
|
1997
|
Perubahan Tugas
|
No.45/U/Kep/1997
|
1998
21 Januari
|
Pemerintah mengembalikan Tugas
BULOG. Ruang lingkup Komoditas BULOG dipersempit.
|
No.19/U/Kep/1998
|
2000-2003
|
BULOG sebagai Organisasi
Transisi/ Manajemen Logistik
|
No.29/U/Kep/2000
No.166/U/Kep/2000
No.103/U/Kep/2000
No.03/U/Kep/2002
|
2003
|
BULOG resmi beralih status
menjadi Perusahaan Umum (Perum) BULOG
|
No.07/U/Kep/2003
|
4.3 Gambaran
Umum BAPPENAS
Badan Pencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memiliki tugas
pokok dan fungsi diuraikan sesuai
dengan Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan
tata kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut tercermin
dalam struktur organisasi, proses pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional,
serta komposisi sumber daya manusia dan latar belakang pendidikannya. Dalam
melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf
Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang masing-masing membidangi
bidang-bidang tertentu.
4.3.1 Struktur Organisasi
BAPPENAS
Sesuai dengan Peraturan Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Nomor: PER.005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama,
Staf Ahli, dan Inspektur Utama, dan 9 Deputi yang masing-masing membidangi
bidang-bidang tertentu, serta 2 Pusat.
Susunan organisasi BAPPENAS terdiri
atas:
a.
Kepala;
b.
Wakil Kepala;
c.
Sekretaris Meneg PPN/Sekretaris Utama Bappenas;
d.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Sumber Daya
Manusia dan Kebudayaan;
e.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Politik,
Hukum, Pertahanan dan Keamanan;
f.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan,
Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil Menengah;
g.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Ekonomi;
h.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup;
i.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Sarana dan Prasarana;
j.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Pengembangan
Regional dan Otonomi Daerah;
k.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Pendanaan
Pembangunan;
l.
Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Evaluasi
Kinerja Pembangunan;
m.
Inspektur Utama;
n.
Staf Ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional;
o.
Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana;
p.
Pusat Data dan Informasi Perencanaan Pembangunan.
1. Persamaan
Regresi
Tabel
4.8
Hasil
Uji Regresi Linier Berganda
Berdasarkan tabel diatas, maka
diperoleh persamaaan regresinya adalah sebagai berikut :
Y
= 66,342 + 120,580X1 + 453,233X2 + 0,460X3
a. Jika
segala sesuatu pada variabel – variabel independen dianggap konstan maka nilai
harga saham (Y) adalah sebesar 66,342
b. Jika
terjadi penambahan ROA sebesar 1%, maka akan meningkatkan harga saham sebesar
120,580
c. Jika
terjadi penambahan NPM sebesar 1%, maka akan meningkatkan harga saham sebesar
453,233
d. Jika
terjadi penambahan EPS sebesar Rp. 1, maka akan mengurangi harga saham sebesar
0,460
2. Koefisien
Determinasi
Tabel
4.9
Output pada SPSS tersebut memiliki
nilai koefisien determinasi yang sudah disesuaikan (Adjusted R square) sebesar
0.727. Artinya, 72,7% variabel dependen harga saham dipengaruhi oleh variabel
independen ROA, NPM dan EPS, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain.
4.1
Hasil
Penelitian dan Analisis4.3.2 Regresi
Linear Berganda
Tabel 4.5
Hubungan antara Harga
dan Persepsi terhadap Keputusan Pembelian
Coefficients(a)
Model
|
Unstandardized Coefficients
|
Standardized Coefficients
|
t
|
Sig.
|
||
B |
Std. Error
|
Beta
|
||||
1 | ||||||
(Constant)
|
4.559
|
1.829
|
2.492
|
.014
|
||
Harga |
.189
|
.107
|
.128
|
1.765
|
.081
|
|
Persepsi |
.842
|
.085
|
.720
|
9.949
|
.000
|
a Dependent Variable:
Pembelian
Dengan
melihat pada tabel diatas, didapat persamaan regresinya adalah :
Y = 4.559 + 0.189X1 +
0.842X2
Dimana : Y = Keputusan
Pembelian
X1
= Harga
X2
= Persepsi
4.4.1 Koefisien Determinasi (R2)
Nilai koefisien determinasi (R2)
menunjukkan persentase pengaruh semua variabel independen terhadp variabel
dependen. Nilai ini, berada antara 0 sampai dengan 1. Semakin mendekati 1 maka
variabel bebas hampir memberikan semua informasi untuk memprediksi variabel
terikat atau merupakan indicator yang menunjukkan semakin kuatnya kemampuan
menjelaskan perubahn variabel bebas terhadap variabel terikat.
Tabel 4.6
Koefisien Determinasi
Model Summaryb
|
|||||
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the Estimate
|
Durbin-Watson
|
1
|
.933a
|
.870
|
.479
|
.056737
|
2.744
|
a. Predictors: (Constant), x3, x1, x2
|
|||||
b. Dependent Variable: y
|
Sumber:
olahan SPSS 17.0
Tampak pada diatas diperoleh angka R2
(R Square) sebesar 0,870 atau 87%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh
variabel independen (Current Ratio, Cash Ratio, Debt Ratio) terhadap variabel dependen (EPS). Sedangkan sisanya sebesar
13%
dipengaruhi dan dijelaskan oleh oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam
model penelitian ini.
Sedangkan koefisien korelasi Berganda (R) sebesar 0,933
dapat diartikan bahwa antara variabel Current Ratio, Cash Ratio, Debt Ratio secara signifikan mempunyai hubungan yang positif terhadap EPS
dengan Standart Error of Estimate (SEE) adalah 2.744 Dimana
semakin kecil SEE akan membuat model persamaan semakin tepat dalam memprediksi
variabel dependen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar